Friday, December 30, 2011

Berpikiran positif

Selama manusia berpikiran positif, maka semua hormon-hormon yang ada dalam tubuh akan bergerak secara positif..sehingga ketika proses yang bergerak positif akan menghasilkan hal yang positif

Artinya : ketika anda ingin menghasilkan sesuatu yang positif, maka mulailah dengan pikiran yang positif

Definisi Konseling Menurut beberapa Ahli

Gunardi S (2000) merangkum pendapat beberapa ahli yang mendefenisikan konseling sebagai berikut :
1.     Roblis (1942) mengatakan bahwa konseling adalah hubungan yang bebas dan berstruktur dengan cara membiarkan klien memperoleh pengertian sesuai mandiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah positif ke arah orientasi baru.
2.     Pepinsky dan Pepinsky (1954) mengatakan bahwa konseling merupakan interaksi yang :
·        Terjadi antara 2 orang yang satu disebut bahwa konselor dan lainnya sebagai klien
·        Berlangsung dalam kerangka profesional
·        Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada klien.
3.     Smith (1955) mengatakan  bahwa konseling adalah proses yang terjadi dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan dengan seseorang profesional terlatih berpengalaman, dan pengalamannya mungkin dapat digunakan untuk membantu orang lain sehingga mampu memecahkan persoalan pribadinya.
4.     Elisenberg (1983) mengatakan bahwa konseling menambah kekuatan pada klien untuk menghadapi, mengikuti aktivitas yang mengarah pada kemajuan dan untuk menentukan suatu keputusan konseling sehingga membantu klien agar mampu menguasai masalah yang sedang dan kelak akan di hadapi.

Efek HIV Pada SIstem Imu

Infeksi Primer atau Stadium Retroviral Akut (Kategori Klinis A)
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, ini berarti banyak virus lain di dalam daerah.
Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sidrom retroviral akut ini meliputi : panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat malam, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya muncul dan terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononuklesis.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 yang ada di nodus limfa dan thyma. Keadaan tersebut membuat individu yang terinfeksi HIV rentan terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIv dengan menggunakan enzym linked imunoabsorbent (EIA) akan menunjukkan hasil positif.

BAB I PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hingga saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh dunia meningkat hingga mencapai 5,2 juta jiwa. Dari jumlah tahun lalu yang hanya 1,2 juta jiwa saja.
Pada tahun 2003 hingga 2010 jumlah pasien yang membutuhkan pengobatan antiretrovial juga meningkat hingga 12 kali lipat. Gottfried Hirnchall, Direktur Departemen HIV/AIDS, kemarin (20/07) mengatakan bahwa peningkatan epidemi ini memang yang terbesar dalam satu tahun. Di Afrika AIDS menyebar karena perilaku heteroseksual, sedangkan di Eropa Timur, AIDS menyebar karena penggunaan narkoba. Sementara itu jumlah penderita di Indonesia sebanyak lebih dari 200.000 orang.
Dari total populasi 240 juta, terjadi prevalensi HIV 0,24 persen dengan estimasi ODHA 186.000. Data itu masih mungkin lebih besar dan bisa mencapai lebih dari 200.000. Jumlah kasus sendiri HIV/AIDS mengalami penurunan di tahun 2011. Diketahui sebanyak 15.509 dinyatakan positif HIV dan AIDS 1805 penderita. Untuk target prevalensi penderita AIDS Indonesia telah mencapai target Millenium Development Goals di tahun 2014 yakni 0,24 persen dari target dibawah 0,5 persen. Target lainnya seperti penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi belumlah tercapai. Saat ini baru 35 persen perempuan dan 20 persen laki-laki yang menggunakan kondom, sementara target di tahun 2014 adalah 65 persen untuk perempuan dan 50 persen untuk laki-laki. Sedangkan untuk target pengetahuan soal HIV/Aids adalah 95 persen di tahun 2014. Saat ini tingkat pengetahuan di masyarakat baru mencapai 75 persen.
Di Kota Makassar jumlah total penderita HIV/AIDS dari tahun 2005 hingga 2011 ini terhitung sebanyak 4018 kasus. Setiap tahunnya khusus penderita AIDS terus bertambah dan jumlahnya hingga ratusan orang. Laki-laki tercatat mendominasi, yakni sebanyak 63 % sementara penderita HIV/AIDS perempuan sebanyak 37 %.
Peran Pemerintah sebagai pengendali masyarakat sangatlah dibutuhkan sebagai pemegang kebijakan dalam sebuah negara
B.     Tujuan Penyusunan Makalah
            Sesuai dengan judul dari makalah ini yaitu kebijakan pemerintah kota makassar terhadap penyakit HIV/AIDS. Berkaitan dengan judul tersebut di atas maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.      Bagaimana peran pemerintah terhadap penyakit HIV/AIDS di Indonesia
2.      Bagaimana kebijakan pemerintah kota makassar terhadap penanggulangan penyakit HIV/AIDS.

Sunday, December 25, 2011

Penggunaaan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam pengenadalian Malaria di Kota Mamuju


Malaria merupakan salah satu dari penyakit infeksi yang terkenal di dunia dan merupakan masalah global dalam bidang kesehatan masyarakat (1). Malaria menjadi perhatian dunia karena 1,5 sampai 2,7 juta orang meninggal setiap tahunnya dan lebih banyak lagi jumlahnya pada penderita penyakit tersebut (2). Penyakit ini juga menjadi penyebab terbesar pada ancaman kematian sekitar 40% populasi penduduk dunia di negara-negara miskin(3). Di Indonesia, malaria jadi issue terbesar dengan ditemukannya 6 juta kasus klinis dan 700 kematian setiap tahunnya. (2).  Selain fakta tersebut, penyakit malaria juga mempunyai pengaruh yang sangat besar pada angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita dan ibu melahirkan, serta dapat menyebabkan penurunan produktifitas kerja.(4)
Peningkatan kasus malaria disebabkan oleh beberapa faktor, seperti : resistensi nyamuk terhadap insektisida, resistensi parasit terhadap obat, pembukaan lahan baru, kurangnya pendanaan sehingga menyebabkan kurangnya kegiatan kontrol penyakit. .(5).  Tidak ada insektisida alternatif yang benar-benar efektif dan efisien sedangkan pengembangan pestisida baru merupakan proses yang lama dan cukup mahal. selain itu, Resistensi obat terhadap seringnya penggunaan anti malaria telah berkembang dengan cepat.(6). Pembukaan lingkungan akibat pembukaan lahan hutan menyebabkan peningkatan pemaparan serangga vektor penyakit kepada manusia.(7) Dukungan pemerintah masih sangat minim terhadap pengembangan riset penyakit tropis malaria baik dari segi pendanaan maupun fasilitas riset. aktivitas penelitian untuk kontrol penyakit tropis khususnya penyakit malaria berjalan sendiri-sendiri tanpa ada jejaring yang kuat. Hal ini menyebabkan daya jangkau penelitian rendah, dana penelitian yang diperoleh terbatas, aktivitas penelitian yang dikerjakan juga kadang tumpang tindih. (8) Banyak negara-negara dengan kasus malaria yang tinggi menemukan kesulitan dalam melakukan intervensi penyakit tersebut (9)
Strategi terbaru untuk mengontrol epidemi penyakit infeksi tergantung dari surveilans untuk menemukan kasus baru yang diikuti dengan tindakan cepat dalam mengontrol epidemi. Alokasi sumber daya dalam penanggulangan malaria yang berdasarkan perkiraan risiko-risiko pada daerah yang prevalensinya tinggi  menyebabkan ketidak seimbangan antara sumberdaya dalam program pencegahan. (10) Sistem surveilans penyakit malaria perlu di dukung dengan sumber daya manusia yang profesional,dana serta sarana dan prasarana yang memadai sehingga petugas dapat mengolah, menganalisis data dengan baik dan memanfaatkan informasi yang dihasilkan yang dapat dilaksanakan secara optimal terutama dalam pengambilan keputusan.(11). Agar kegiatan case finding malaria dapat berjalan sesuai dengan sasaran atau lokasi daerah endemis, maka perlu didukung oleh sistem informasi geografis (SIG). (12). Penggunaan sistem informasi geografis telah berkembang sejak 2 dekade yang lalu untuk menggambarkan dan memprediksikan pola geografis dan waktu transmisi penyakit menular oleh vector serta prevalensi penyakit (13). Pelaksanaan survey dengan dukungan SIG perlu dilakukan karena sistem informasi geografis diyakini dapat mendukung pengambilan keputusan spasial, dan mampu mengintegrasikan deskripsi - deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan pada suatu lokasi, tertuma kecenderungan peningkatan kasus malaria menurut bulan. (12). 
SIG merupakan alat untuk melakukan pemantauan dalam kesehatan masyarakat dalam berbagai lokasi geografis, utamanya untuk menggambarkan risiko malaria. (14) SIG menyediakan data –data yang tepat untuk visual dan analisis data epidemiologi, menunjukkan tren, ketergantungan dan hubungan yang mungkin sulit untuk dicakup dalam format table. Sumberdaya kesehatan masyarakat, penyakit spesifik dan kejadian kesehatn lainnya dapat dipetakan dalam hubungannya dengan pengaruh lingkungan dan kesehatan yang ada dan infrastruktur social. Seperti informasi yang dapat digunakan sebagai alat pemetaaan untuk mengawasi dan manajemen program penyakit dan kesehatan masyarakat.. (15) selain itu SIG memudahkan pengguna untuk membuat query interaktif, menganalisa informasi spasial dan mengedit data. (16) Keuntungan utama dari platform SIG adalah pembaharuan data yang cepat, segera setelah data yang dimasukkan kedalam peta yang direvisi yang siap menyoroti titik masalah, dibandingkan dengan menggunakan sistem manual yang tidak layak saat ini. Elektronik transfer data jauh lebih cepat daripada pos komunikasi. Dimana dapat memberikan persepsi baru tentang malaria dalam manajemen data, penyebaran informasi global dan berbagi informasi. Keuntungan lain adalah bahwa setelah infrastruktur sudah siap, mudah untuk mengubahnya menjadi sistem surveilans pada penyakit lain. (17)
SIG malaria dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam penanggulangan malaria. (18). Informasi yang disediakan melalui GIS dapat digunakan untuk membantu kegiatan perencanaan yang paling efisien untuk melakukan kegiatan pemantauan. (19) Perencanaan dan pemantauan program pengendalian malaria yang berkualitas baik memerlukan data yang dapat menentukan beban penyakit di daerah geografis dan ekologis di suatu Negara (20) Para pengambil kebijakan dibidang kesehatan sebaiknya memahami tindakan ‘non medis’ berupa pemanfaatan SIG ini. Dengan SIG dapat memahami karakter wilayah, kontrol dini sebelum terjun dilapangan, dan akhirnya dapat mengambil kebijakan tentang kesehatan yang tepat sasaran(21). Dalam beberapa tahun terakhir, ada minat yang berkembang di antara departemen kesehatan dan lembaga-lembaga sektor kesehatan lainnya dalam penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat untuk memperkuat analisis, manajemen, monitoring dan kapasitas pengambilan keputusan di kesehatan masyarakat, dan juga sebagai alat untuk advokasi dan komunikasi antara personil teknis, pembuat kebijakan dan masyarakat umum (3). Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui  Penggunaaan Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Pengendalian Malaria jika dilaksanakan di Kota Mamuju ibukota dari Propinsi Sulawesi Barat yang merupakan daerah endemik malaria.


REFERENSI

1.     Simon I Hay, Carlos A Guerra, Peter W Gething, et al. A World Malaria Map: Plasmodium falciparum Endemicity in 2007. PLoS Med. 2009 doi: 10.1371/journal.pmed.1000048.
2.     Neil G Sipe, & Pat Dale. Challenges in using geographic information systems (GIS) to understand and control malaria in Indonesia. The decade in review. Malaria Journal 2003, 2:36.
3.     Adebayo Peter Idowu, Nneoma Okoronkwo and Rotimi E. Adagunodo. Spatial Predictive Model for Malaria in Nigeria. www.jhidc.org. Vol.3 • No.2 • 2009
4.     Sampri Peter, 2007. Profil Gebrak Malaria. http://wwwpetersampricom.blogspot.com.
5.     Bretas, Gustavo. Geographic Information Systems for the Study and Control of Malaria. Deptartimento Epidemiologia, Instituto de Medicina Social, Universidade do Estado de Rio de Janeiro, Brazil. 1996.
6.     Informasi Tentang Dunia teknologi Terkini. Pengendalian Penyakit Tropis Tidak Optimal Karena Tidak      Didukung Riset Yang Optimal. 2008.
7.     Hidayati Sri. Mewaspadai Malaria Sebagai re-emerging Disease. Gerai Edisi Januari 2006 (Vol.5 No.6)
9.     Lawrence m. Barat. Four Malaria Success Stories: How Malaria Burden Was Successfully Reduced In Brazil, Eritrea, India, And Vietnam. Am. J. Trop. Med. Hyg., 74(1), 2006, pp. 12-16.
10. Panditrao Mayuri. Use of Geographic Information Systems (GIS) to Predict Vector-borne Disease Outbreaks: A crucial step towards cost effective prevention of diseases. White paper submitted to the Bears Breaking Boundaries Contest 2006.
11. Evaluasi Sistem Surveilans Penyakit Malaria Di Daerah High Case Incidence (HCI) dan Non HCI Di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. FETP Universitas Gajah Mada.
12. Zakaria. 2009. Metode Surveilans Dengan Arview GIS. Kendari. Sulawesi Tenggara.
13. Bogh et al. High Spatial Resolution Mapping Of Malaria Transmission Risk In The Gambia, West Africa, Using Landsat Tm Satellite ImageryAm. J. Trop. Med. Hyg., 76(5), 2007, pp. 875–881
14. Shirayama et al. Geographic information system (GIS) maps and malaria control monitoring: intervention coverage and health outcome in distal villages of Khammouane province, Laos. Malaria Journal 2009, 8:217doi:10.1186/1475-2875-8-217.
15. C.P. Johnson, & Jasmin Johnson. GIS: A Tool for Monitoring and Management of Epidemics. Map India 2001 Conference, New Delhi.
16. Haifani Akhmad Muktaf . Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Mendukung Penerapan Sistem Manajemen Resiko Bencana Di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008 ISBN : 978-979-1165-74-7 V-163.
17. Srivastava Aruna et al. Identification of Malaria Hot Spots For Focused Intervention In Tribal State of India: a GIS Based Approach. International Journal of Health Geographics 2009, 8:30doi:10.1186/1476-072X-8-30
18. Anonim.2009. Epidemiologi Malaria dengan GISMuslim_bintan Weblog.html.
19. Paschal CHACHA, Utilizing GIS Technology in the Fight against Malaria. 3rd ESRI Eastern Africa User Conference (EAUC) Nairobi, Kenya, October 23-24, 2008. Tanzania.
20. Mabunda et al. A country-wide malaria survey in Mozambique. I. Plasmodium falciparum infection in children in different epidemiological settings. Malaria Journal 2008, 7:216doi:10.1186/1475-2875-7-216
21. Amhar, Fahmi.2009. GIS Untuk Optimasi Kesehatan Masyarakat.






Pengaruh Pola Konsumsi Ibu Hamil Hubungannya Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil.

KERANGKA BERFIKIR

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal(5). Hb merupakan zat yang berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh termasuk ke tubuh janin yang dikandung oleh ibu, sehingga jika terjadi anemia pada ibu hamil, maka proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh tersebut akan mengalami gangguan(1). Gejala umum anemia seperti: lesu, letih, pucat, cepat lelah, berkunang-kunang dan gampang mengantuk merupakan gejala klinis yang mudah diketahui (16). Menurut WHO kejadian anemia hamil berkisar antara 20%-89%, dengan menetapkan Hb 11 gr % sebagai dasarnya, sehingga angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi(20). Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi(19). Studi di Singapura mengkonfirmasi bahwa anemia defisiensi besi adalah merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil, dan  menjadi masalah kesehatan di negara berkembang dan di  negara maju. Di Indonesia, sebagian besar penyebab anemia juga karena kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin(21).

Kejadian kasus Anemia masih tinggi karena pada umumnya kesadaran ibu hamil masih rendah dalam memperhatikan pentingnya pencegahan anemia dan bahaya kekurangan asupan zat besi(10). Kekurangan zat besi di dalam tubuh disebabkan oleh kekurangan konsumsi zat besi yang berasal dari makanan atau rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan.Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil di Indonesia mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani, sayur dan buah dalam jumlah yang tidak memadai, padahal  kesemua jenis pangan tersebut adalah sumber zat besi (21). Faktor utama yang berperanan terhadap kekurangan besi adalah asupan makanan yang mengandung zat besi rendah dari ibu hamil, hal ini disebabkan ibu hamil mengkonsumsi asupan energi dan zat besi yang rendah dalam makanan sehari-hari(18) serta faktor ketidaktahuan pentingnya tablet besi untuk kehamilannya(6) . Rendahnya asupan besi pada bumil dilandasi oleh beberapa alasan; perbedaan bioavailabity makanan yang mengandung besi yang umumnya tinggi pada negara maju dibandingkan negara berkembang, yang umumnya mengkonsumsi biji-bijian yang mempunyai bioavailability(15,18). Ketersediaan zat besi dari makanan yang tidak terserap oleh tubuh akan mengakibatkan tubuh mengalami anemia gizi besi, saat kehamilan zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh lebih banyak dibandingkan saat tidak hamil dan untuk kebutuhan zat besi pada masa hamil seiring dengan bertambahnya umur kehamilan, dengan demikian risiko anemia zat besi pada ibu hamil semakin besar(2).. Prevalensi anemia defisiensi besi di dunia berkisar antara 20-50%, prevalensi anemia di Indonesia bervariasi setiap daerah yaitu antara 38,0% - 71,5% persen dan rata-rata sekitar 63,5%(10). Prevalensi anemia diketahui dapat dipengaruhi oleh banyak perbedaan regional dalam dunia sekarang ini. Banyak orang dari negara-negara berkembang telah hidup pada sereal yang monoton atau kacang-kacangan berbasis diet dan memiliki sedikit akses ke protein hewani atau berbagai macam buah-buahan dan sayuran. Bahkan ketika makanan tersebut tersedia, beberapa kepercayaan budaya yang menghambat wanita hamil untuk tidak mengambil makanan seperti yang lagi-lagi menjadikan mereka pada risiko mikronutrien deficiencies(23).
.
Ibu hamil yang menderita anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal(12). Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan bahkan dapat menyebakan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat(3,11,17,22) . Penelitian yang pernah dilakkan di Indramayu menunjukkan pengaruh antara anemia pada ibu hamil trisemester III terhadap kejadian berat lahir rendah, dimana risiko untuk melahirkan bayi BLR adalah sebesar 1,74 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia(9). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55% dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan(19).

Anemia berpengaruh terhadap morbiditas ibu hamil, dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan (Post-partum hemorrhage)(4). Menurut WHO 40% kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi(5). Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah (19). Selain itu, masih banyaknya ibu hamil yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian (13). Ibu anemia berat dengan Hb < 8g/L memiliki faktor risiko kematian lebih besar dibandingkan anemia sedang (14).

Pencegahan dan perawatan ibu hamil dengan anemia dapat dilakukan dengan perbaikan pola makan dan kebiasaan makan yang sehat serta mengkonsumsi bahan kaya protein, zat besi dan asam folat pada saat kehamilan(2). Walaupun wanita hamil berhenti menstruasi, tambahan besi tetap diperlukan untuk fetus, plasenta dan peningkatan volume darah ibu. Jumlah ini mendekati 1000 mg besi, lebihbesar ketika memasuki awal kehamilan. Kebutuhan per hari selama kehamilan meningkat dari 0,8 per hari dalam trisemester pertama naik menjadi 6.3 mg per hari dalam trisemester ketiga(14). Intervensi yang paling mudah dan paling luas jangkauannya adalah melalui institusi Posyandu dan Puskesmas. Kebijaksanaan pemerintah adalah memberikan tablet Fe (Fe sulfat 320 mg dan asam folat 0,5 mg) untuk semua ibu hamil sebanyak satu kali satu tablet selama 90 hari. Diperkirakan jumlah tersebut mencukupi kebutuhan tambahan zat besi selama kehamilan yaitu 1000 mg di samping yang berasal dari makanan(16).  Tak kalah pentingnya adalah upaya mengidentifikasi adanya defisiensizat gizi mikro lain (yang ikut bertanggung jawab pada kejadian anemia) yang mungkin terjadi(7) dan pentingnya dukungan keluarga dan masyarakat perlu terus ditingkatkan untuk memotivasi ibu hamil agar lebih meningkatkan kepatuhan mengkonsumsi tablet besi agar tidak mengalami anemia(8).Di Thailand, ada kebijakan nasional untuk mencegah dan mengobati anemia selama kehamilan seperti besi suplemen dan program skrining talasemia(22). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana Pengaruh  Pola Konsumsi Ibu Hamil Hubungannya Dengan Kejadian  Anemia Pada Ibu Hamil.

 Referensi :
1.         Amiruddin, Ridwan. 2006. Risiko Asap Rokok dan Obat-obatan Terhadap Kelahiran Prematur  Di Rumah Sakit St. Fatimah Makassar. Jurnal Medika Nusantara. Jurusan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin.

2.         Anonim.  2008.Anemia. http://bumikupijak.com. Akses 28 Oktober 2009.
3.         Azam, Mahalul. Hubungan Kenaikan Berat Badan LILA dan Kadar Hemoglobin Dengan Berat Bayi Lahir Bumil Boyolali Tahun 2005. Kemas Vol2/No.1/ Juli-Desember 2006.

4.         Chahaya, Indra. 2003. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5.         Ermawati, dkk. 2007. Anemia Defisiensi Zat Besi Pada Ibu Hamil Di Indonesia. Artikel ilmiah New Paradigm For Public Health.

6.         Herlina, Nina, dkk. 2005. Faktor Resiko Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan.

7.         Hertanto. 2006. Tak Cukup Dengan Suplementasi Besi Folat. Suara Merdeka.
8.         Indriasari,dkk. Efektivitas Program Supplementasi Tablet Besi Pada Ibu Hamil Pengunjung ANC klinik di Nam Phong Khon Kaen, Thailand. MKMI No.03, Volume 01, Maret-Mei 2005.

9.         Hidayanty, Healthy. Status Gizi Ibu Hamil dan Kejadian BBLR. MKMI No.1 Volume 02 Januari-Maret 2006.

10.     Kusmiati, Sri, dkk. Studi Validitas dan Reliabilitas Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin Dengan Metoda Sahli dan Metoda Talqvist Untuk Deteksi Anemia Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Wilayah Bojonagara Kota Bandung. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

11.     Lubis, Zulhaida. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi Yang Dilahirkan.

12.     Mardiwiono. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Dengan Status Anemia Dalam Kehamilan Di Puskesmas Kalibawang. Artikel kesehatan.

13.     Mass, Linda. 2004. Kesehatan Ibu dan Anak : Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Unversitas Sumatera Utara.
14.     Prihananto.2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemi Gizi Besi. Sekolah Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor.

15.     Seri, Luh, dkk. 2004. Perbandingan Efek Suplemen Besi Pra-Hamil dan Selama Kehamilan Dalam Upaya Menurunkan Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Dengan Anemia Ringan Di Bali. Doctorate Program in Medicine, School for Postgraduate Study. Unversitas Udayana.

16.     Suartika, Wayan. 1999. Prevalensi Anemia Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Bualemo, Sulawesi Tengah. Cermin Dunia Kedokteran No.124.

17.     Surasih, Halym. 2005. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Keadaan Kurang Energi Kronis (KEK) Pada Ibu Hamil Di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2005. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

18.     Taslim, dkk. 2005. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Tablet Besi Terhadap Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Yang Menderita Kurang Energi Kronik Di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jurnal Medika Nusantara Vol.26. No.1.

19.     Wahyuddin. 2004. Studi Kasus Kontrol Biomedis Terhadap Kejadian Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Medical Faculty of Hasanuddin University.

20.     Hamid, Huzaifah. 2009. Pengaruh Ibu Hamil Penderita Anemia Terhadap Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Di Daerah Rawan Pangan Di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Biologi online.

21.     Patimah. 2005. Pola Konsumsi Ibu Hamil dan Hubungannya Dengan kejadian Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil, J. Sains & Teknologi, Desember 2007, Vol. 7 No. 3.

22.     Sukrat, Bunyarit.  The Prevalence and Causes of Anemia During Pregnancy in Maharaj Nakorn Chiang Mai Hospital. Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, Chiang Mai University, Chiang Mai. J Med Assoc Thai Vol. 89 Suppl. 4 2006.

23.      Kisioglu, Nesimi,dkk. Anaemia prevalence and its affecting factors in pregnant women of Is-parta Province. Biomed Res (India) 2004; 16 (1): 11-14.