Thursday, March 29, 2012

Aspek Legal Dan Etika

Hipocrates yang diikuti sumpahnya oleh dokter-dokter dibeberapa negara secara tegas mengatakan bahwa informasi kesakitan hanya dapat diberikan kepada orang lain untuk kepentingan si sakit atau orang-orang yang secara langsung mempunyai kewajiban merawatnya. Dalam sumpah Hipocrates tidak mengandung pernyataan secara eksplisit tentang bagaimana pemberian informasi untuk kepentingan orang banyak (masyarakat). Namun demikian, para ahli kedokteran di Eropa mempunyai konsensus bahwa informasi kesakitan dapat diberikan kepada orang lain dengan alasan sebagai berikut :
a.    Jelas ada beban dari masyarakat sekitarnya untuk mengeluarkan data perorangan
b.    Jikalau data diperlukan secara hukum
c.    Jika untuk kepentingan penelitian dan tidak dapat minta persetujuan langsung dari si sakit
d.    Jika pasien secara sukarela memberikan informasi kepada orang-orang yang ditunjuk
Dengan demikian tidak setiap data penyakit dan kesakitan dari individu dapat diambil begitu saja persetujuan dengan yang bersangkutan. Untuk itu pada setiap pengumpulan datta diminta persetujuannya dan dijaga jangan sampai mengeluarkan identitas penderita tanpa tujuan-tujuan tertentu.
a.    Prinsip Umum Etika
Ada tiga hal secara prinsip umum etika dasar dalam bidang kesehatan yang harus dipertimbangkan :
1)    Menghormati setiap subjek, termasuk mengenai otonomi dan proteksi bagi seseorang yang lemah karena tidak bisa melakukan otonominya.
2)    Keuntungan, tidak menimbulkan  kerugian-kerugian dalam bentuk apapun, baik secara moral ataupun fisik.
3)    Keadilan, termasuk haknya untuk mengetahui informasi yang diperlukan
b.    Prinsip Etika dalam Epidemiologi
            Masalah pokok dalam etika epidemiologi adalah memberikan justifikasi yang seimbang antara kepentingan individu dan kelompok. Surveilans penyakit di satu sisi dapat merugikan kepentingan seorang individu, tetapi sekaligus memberikan hasil yang sangat bemanfaat untuk kelompok.

Maksud dan Tujuan Surveilans Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya kita beralih ke apakah maksud dan tujuan surveillance kesehatan masyarakat yaitu :
Menjelaskan penyakit yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
Definisi surveilans menurut WHO menjelaskan bahwa surveilans dapat diartikan sebagai aplikasi metodologi dan teknik epidemiologi yang tepat untuk mengendalikan penyakit. Dalam kamus epidemiologi sering disebutkan pula bahwa maksud utama dari surveilans adalah untuk mendeteksi perubahan pada trend atau distribusi penyakit dalam rangka memulai penyelidikan atau melakukan tindakan pengendalian kadang kala obyektif ini digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi tindakan pengendalian penyakit dan penyediaan data untuk perencanaan pelayanan kesehatan.
Penjelasan tentang pola penyakit yang sedang berlangsung  dapat diuraikan beberapa contoh kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:
a.    Melakukan deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya.
b.    Melakukan identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit menurut frekuensi kejadiannya.
c.    Melakukan identifikasi faktor risiko dan penyebab lainnya, seperti vektor yang dapat menyebabkan penyakit di kemudian hari.
d.    Mendeteksi perubahan pelayanan kesehatan  yang terjadi di masyarakat.
Penggunaan data untuk evaluasi serta pengendalian dan pencegahan penyakit dapat berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a.    Beberapa informasi tentang penyakit menstimulasi untuk pelaksanaan riset lebih lanjut tentang proses terjadinya penyakit, misalnya sumber-sumber penyebab penyakit memungkinkan untuk dieksplorasi secara mendalam.
b.    Informasi tentang pola penyakit dan kecenderungannya sangat penting untuk perencanaan pelayanan kesehatan dimasa mendatang karena dapat dijadikan landasan yang kokoh dalam pengambilan keputusan.
c.    Evaluasi dan tindakan pencegahan, misalnya evaluasi terhadap program vaksinasi.

Dalam upaya mempelajari riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) dan epidemiologi penyakit, khususnya untuk mendeteksi epidemi penyakit melalui pemahaman riwayat penyakit, dapat membantu beberapa hal sebagai berikut:
a.    Membantu menyusun hipotesis untuk dasar pengambilan keputusan dalam intervensi kesehatan masyarakat.
b.    Membantu untuk mengindetifikasi penyakit untuk keperluan penelitian epidemiologi.
c.    Mengevaluasi program-program pencegahan dan pengendalian penyakit.
d.    Memberikan informasi dan data untuk memproyeksikan kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa mendatang.
Informasi kesehatan yang berasal dari data dasar pola penyakit sangat penting untuk menyusun perencanaan dan untuk mengevaluasi hasil akhir dari intervensi yang telah dilakukan. Semakin kompleksnya proses pengambilan keputusan dalam bidang kesehatan masyarakat, memerlukan informasi yang cukup handal untuk mendeteksi adanya perubahan-perubahan yang sistematis dan dapat dibuktikan dengan data (angka).

Sejarah Perkembangan Surveilans

Lebih dari 6 (enam) abad lalu, konsep keilmuan surveilans mortalitas dan morbiditas mulai muncul di Eropa. Sejak jaman “Renaissance tersebut, konsepnya kemudian meluas ke benua Amerika bersama-sama dengan berbondong-bondongnya mereka memasuki benua tersebut. Perkembangan surveilans semula hanya berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa manusia sehingga kematian karena penyakit tertentu yang menjadi perhatian saat itu.
1.    Abad ke Empat Belas dan Kelima Belas.
Pada sekitar tahun 1348 di Eropa terjadi epidemi atau wabah penyakit pneumonia karena pes (pneumonia plague) dan dikenal dengan istilah “Black Death”. Akibat wabah tersebut, Republik Venesia (The Venetian Republic) mengangkat pengawas kesehatan yang bertugas untuk mendeteksi dan menolak kapal-kapal yang memiliki penumpang terinfeksi penyakit pes sebelum memasuki negara tersebut. Deteksi penyakit ini merupakan tindakan yang dapat dianggap sebagai kegiatan surveilans yang dilakukan secara primitif oleh suatu negara dibenua Eropa untuk pertama kalinya. Tindakan yang bersejarah berikutnya adalah dimulainya untuk melakukan penahanan selama 40 hari bagi pendatang yang berasal dari daerah dengan epidemi pes selama 40 hari di Marseilles (1377) dan Venisia (Venise) pada tahun 1403, tindakan ini kemudian dikenal sebagai tindakan karantina yang pertama kali dilakukan bagi penderita diduga menjadi penyebar penyakit menular, yaitu penderita pes.
2.    Abad Keenam Belas
Pencatatan kematian mulai dilakukan di beberapa kota-kota besar di negara Eropa sejak abad ke enambelas yang lalu. Undang-undang tentang kematian di London atau yang dikenal dengan “London Bills of Mortality” dipersiapkan pada tahun 1532 oleh seseorang yang sampai sekarang tidak diketahui namanya. Namun demikian baru beberapa abad kemudian manfaat secara ilmiah hasil pencatatan tersebut pada bidang kesehatan masyarakat diperkenalkan oleh John Graunt.
  1. Abad Ketujuh Belas
Pada abad ini, pencatatan kematian yang dilakukan secara sporadis dan hanya dilakukan apabila ada wabah pest, mulai diterbitkan. Para sekretaris paroki (Parish Clerks) di ibukota London mulai mencatat dan melaporkan setiap minggunya, tentang orang-orang yang dikubur dan penyebab kematiannya pada “The Hall of Parish Clerks” Company. Oleh sekretaris Hall kemudian disusun laporan statistik kematian di London dan digabungkan dari beberapa Paroki serta diinterpretasi bagaimana keadaan penyebab wabah pes di kota London. Laporan ini kemudian diterbitkan secara mingguan kepada yang memerlukan dan disebut dengan “Bill Mortality” sehingga tindakan yang sesuai dapat diambil secara konkrit. Hal tersebut dapat dikenali sebagai surveilans yang sampai sekarang prinsipnya masih relevan dalam mengumpulkan data, data yang dikumpulkan diolah dan diinterpretasi, kemudian disebarluaskan hasilnya sehingga dapat dipakai untuk pertimbangan pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan. Laporan mingguan secara ilmiah disusun pertama kali oleh John Graunt pada tahun 1662. Laporan ini memuat informasi tentang jumlah penduduk kota London dan jumlah yang meninggal karena sebab tertentu. Dengan demikian John Graunt adalah orang yang pertama kali yang mempelajari konsep jumlah dan pola penyakit secara epidemiologis, yang menerbitkan buku yang berjudul “Natural and Political Observation on the Bills of Mortality”.
  1. Abad Kedelapan Belas
Pada tahun 1776, Johan Peter Frank melaksakanan tindakan surveilans dengan mengangkat polisi kesehatan di Jerman, yang tugasnya berkaitan dengan pengawasan kesehatan anak sekolah, pencegahan kecelakaan, pengawasan kesehatan ibu dan anak, dan pemeliharaan sanitasi air serta limbah. Frank menyusun buku yang menyajikan secara jelas dan rinci tentang kebijaksanaannya tentang kesehatan, yang mempunyai dampak pada negara-negara sekitarnya, seperti Hongaria, Italia, Denmark dan Rusia.
Dalam abad yang sama (1741), surveilans dasar ini dilaksanakan di beberapa koloni Amerika. Tahun 1741 negara bagian “Rhode Island” mengeluarkan peraturan bahwa pegawai restoran wajib melaporkan penyakit menular yang diderita oleh rekan-rekannya. Dua tahun kemudian, negara bagian ini menyetujui keharusan lapor bagi penderita cacar, demam kuning dan kolera.
  1. Abad Kesembilan Belas
William Farr dikenal sebagai penemu konsep surveilans secara modern. Sebagai “Superintendant of Statistical Department of the General Registrar’s Office” di Inggris Raya dari tahun 1839-1879. Farr bertugas mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menginterpretasi statistik vital serta menyebarluaskan hasilnya dalam bentuk laporan mingguan, bulanan dan tahunan. Farr tidak hanya berhenti untuk mempublikasikan angka-angka statistik secara rutin, tetapi menulis beberapa laporan dalam jurnal kedokteran dan memanfaatkan media massa untuk menyebarluaskan informasinya dan melihat bagaimana orang lain memanfaatkan hasil laporannya. Pada abad yang sama, tindakan Farr diikuti dan diperluas oleh Edwin Chadwick yang meneliti hubungan antara kondisi lingkungan dan penyakit. Louis Rene Villerme Shattuck juga mempublikasi hubungan antara kematian bayi, anak dan ibu dengan kondisi lingkungan di Amerika Serikat. Kebutuhan akan data penyebab kematian yang lebih akurat mendorong pemerintah Inggris untuk membentuk Kantor Pencatatan Umum pada tahun 1836 dan pada tahun berikutnya diberlakukan pencatatan dan pemberian sertifikat kematian. Kemudian diusulkan agar disusun nomenklatur internasional nama-nama penyakit dan penyebab kematian, mencakup jenis kelamin, umur, kondisi daerah dan faktor-faktor demografis lainnya. Daftar internasional tentang nama-nama penyakit penyebab kematian diperkenalkan pada tahun 1893. Karena jasa-jasanya tersebut William Farr dikenal sebagai bapak pendiri konsep surveilans secara modern.
  1. Abad kedua Puluh
            Meningkatnya pemakaian konsep surveilans untuk pendekatan epidemi dan pencegahan penyakit infeksi mulai dikenal pada abad ke duapuluh. Pada tahun 1889 Inggris Raya mulai mengeluarkan peraturan wajib lapor bagi penyakit-penyakit infeksi. Pelaksanaan wajib lapor penyakit demam kuning, pes dan cacar mulai diberlakukan pada tahun 1878 di  Amerika dan sejak tahun 1925 semua negara bagian harus melaporkan penyakit tersebut kepada petugas kesehatan masyarakat setiap minggu. Pada saat ini jenis-jenis penyakit yang harus dilaporkan di USA semakin bertambah banyak, termasuk HIV dan AIDS positif. Perkembangan secara ringkas pada abad ke 20 disajikan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1.                   Perkembangan Surveilans 100 tahun terakhir
1888

1893

1911

1935
1943

1965

1966
Wajib lapor penderita dan yang meninggal karena penyakit menular di Italia.
Publikasi internasional penyebab penyakit oleh Internasional Statistical Institution London (1885)
Penggunaan data surveilans dan sistem Asuransi Nasional di Inggris
Survai Kesehatan Nasional d USA
Pencatatan pertama Penyakit Kanker (The Danish Cancer Registry) dan Surveilans morbiditas yang pertama kali di Inggris.
Didirikan Unit Surveilans Epidemiologi pada divisi penyakit menular di WHO Pusat, Geneva.
Pengembangan sistem sentinel untuk Doktor (General Practice) di Inggris dan Belanda

Pendahuluan Surveillance Kesehatan Masyarakat

Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi. Namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi surveilans diluar bidang epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan secara luas dalam bidang kesehatan masyarakat. Bahkan Berkelman dkk pada tahun 1995 menyebutkan bahwa surveilans adalah dasar epidemiologi dalam ilmu kesehatan masyarakat modern.
Kata surveilans semula berasal dari bahasa Perancis “surveillance” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai kata “mengamati tentang sesuatu”. Dalam aplikasi dibidang kesehatan masyarakat dapat diartikan secara luas sebagai upaya monitoring kondisi kesehatan secara ketat di masyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai dasar perencanaan, monitoring dan evaluasi intervensi kesehatan masyarakat. Misalnya data surveilans yang dikumpulkan secara berkala dan berkesinambungan pada penderita HIV dan AIDS atau tuberkulosa dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan program pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut serta memonitoring dan mengevaluasi apakah program tersebut dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Karena konsep berkembang dan aplikasinya dibidang kesehatan masyarakat telah meluas, maka mengundang beberapa permasalahan baru dibidang kesehatan masyarakat. Pertama perlu acuan dengan konsep dan definisi serta isi kegiatan yang dimengerti oleh semua pihak, karena dibidang kesehatan masyarakat melibatkan berbagai macam bidang keilmuan dan keahlian, selain dari ilmu epidemiologi yang menjadi akar dari cabang ilmu surveilans kesehatan masyarakat. Kedua, masih sedikitnya informasi atau tulisan yang secara sistematis melaporkan kegiatan surveilans di Indonesia karena mungkin masih sedikitnya pemahaman penerapan cabang ilmu ini dibidang kesehatan masyarakat. Dimasa lalu, surveilans hanya terbatas pada aspek epidemiologi, yaitu tentang kegiatan untuk memonitoring frekuensi dan distribusi penyakit di masyarakat.
Tulisan ini merupakan review artikel yang memaparkan sejarah perkembangan, metode pelaksanaan serta evaluasi surveilans di bidang kesehatan masyarakat dalam era kesehatan masyarakat modern. Saat ini penerapan surveilans dibidang kesehatan masyarakat  telah mencakup masalah gizi, morbiditas, mortalitas (demografi) kesakitan, dan pelayanan kesehatan  serta beberapa faktor risiko yang terjadi pada individu, keluarga masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dari review ini diharapkan dapat bermanfaat bagi akademisi dan pelaksana program untuk memahami lebih lanjut tentang perkembangan kegiatan surveilans yang telah menjadi cabang ilmu yang sangat bermanfaat dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi program-program kesehatan masyarakat.

PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP HIV / AIDS KALANGAN SISWA SEKOLAH MENENGAH DI ISFAHAN

Translate Jurnal

Iran Journal of Clinical Infectious Diseases
2008; 3 (2) :93-98
© 2008 IDTMRC, Penyakit Infeksi dan Pusat Kedokteran Tropis Penelitian

PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP HIV / AIDS
KALANGAN SISWA SEKOLAH MENENGAH DI ISFAHAN

Zahra Abdeyazdan 1 *,
Narges Sadeghi 2
1.      Keperawatan dan Kebidanan Fakultas, Isfahan Universitas Ilmu Kedokteran, Isfahan, Iran
2   Khorasgan University, Isfahan, Iran

ABSTRAK
Latar Belakang: Mengingat penyebaran meningkatnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Timur Tengah, menginformasikan tentang bagaimana hal itu dapat ditularkan dan dicegah adalah senjata utama terhadap penyebarannya. Menentukan
informasi publik mengenai HIV / AIDS dan sikap mereka terhadap orang dengan HIV / AIDS dapat memberikan dasar untuk Program pendidikan yang tepat di tiap komunitas. Jadi, kami meneliti pengetahuan dan sikap terhadap HIV / AIDS kalangan siswa sekolah menengah di Isfahan, Iran.
Pasien dan metode: Sebuah survei cross sectional yang dipilih secara acak di kalangan siswa SMA dilakukan di kota Isfahan. Para siswa menjawab kuesioner yang diberikan anonim diri setelah secara lisan menyetujui untuk berpartisipasi dalam studi. Pengetahuan dan sikap diberi skor. Statistik deskriptif dan inferensial digunakan untuk menganalisis data dengan paket SPSS.
Hasil: Tingkat pengetahuan total 60,2% dari siswa itu baik, dari 34,1% dari mereka adalah sedang dan 5,7% dari subyek memiliki tingkat pengetahuan yang buruk, dan tingkat pengetahuan total tidak berbeda antara anak perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini ada sikap negatif terhadap AIDS dan HIV positif. Pada 68,6% siswa sikap adalah sedang, di 23,3% sikap itu baik dan 8,1% dari siswa sikap rendah. Jurnal dan buku merupakan sumber informasi utama pada anak perempuan dan anak laki-laki sumber informasi utama adalah TV.
Kesimpulan: Sebagian besar responden tahu modus utama penularan infeksi HIV. Jadi, pendekatan sementara media massa bisa menjadi strategi yang paling mungkin untuk upaya pendidikan masa depan, pendidikan intervensi dalam program sekolah melibatkan guru dan konsultan sekolah dapat disesuaikan secara tepat dengan kebutuhan khusus para siswa, untuk memaksimalkan efektivitas mereka.

Kata kunci: AIDS, Pengetahuan, Sikap, Mahasiswa.
(Jurnal Iran Clinical Infectious Diseases 2008; 3 (2) :93-98).

PENDAHULUAN

AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) pertama kali dikenal di kalangan pria homoseksual di Amerika Serikat pada 1981 dan kemudian di Eropa dan sub-Sahara Afrika dan sejak itu telah terjadi ledakan penularan HIV (1).  Berkembang untuk memberikan perhatian khusus kepada anak muda di bidang AIDS di seluruh dunia (2). Menurut laporan UNICEF ada 11,8 juta anak muda muda antara 15-24 tahun dengan HIV / AIDS (2).
Pendidikan tentang bagaimana AIDS ditularkan dan dicegah adalah senjata utama melawan AIDS, karena tidak ada pengobatan atau vaksin untuk mencegah penyebarannya dan terapi obat sangat mahal. Namun strategi pencegahan harus secara budaya tertentu.
Pada tahun 1994 UNESCO menyelenggarakan Regional Asia merencanakan seminar tentang AIDS, Pendidikan dan merekomendasikan bahwa pada akhir tahun 1994 setiap negara di wilayah ini harus mengembangkan secara tertulis jelas tentang kebijakan pendidikan AIDS, yang akan membentuk dasar dari rencana aksi nasional untuk pendidikan AIDS pada sistem sekolah (3).
Ada 95 orang dengan HIV / AIDS di Iran tahun 1987 dan pada tahun 2004 jumlah ini meningkat menjadi 7108, mayoritas dari mereka adalah orang-orang muda di kisaran usia 25-34. Pada tahun 1987, penularan mode infeksi terutama melalui darah dan produk darah, sedangkan pada tahun 2004 yang berbagi jarum antara orang-orang kecanduan (4, 5).
Karena kekhawatiran tidak masuk akal di antara yang orang Iran bahwa pendidikan AIDS mempromosikan perilaku berisiko tinggi, hubungan seksual tidak secara terbuka dibahas dan jadi ada isinya terbatas pada HIV / AIDS dan pendidikan seks kurikulum di sekolah.
Mengetahui informasi publik mengenai HIV / AIDS dan sikap mereka terhadap orang dengan HIV / AIDS (ODHA) dapat memberikan dasar untuk Program pendidikan yang sesuai di setiap masyarakat. Jadi, kami meneliti pengetahuan dan sikap terhadap AIDS / HIV di kalangan sekolah menengah siswa di Kota Isfahan, Iran. Kami juga menilai sumber informasi mereka tentang AIDS / HIV.
Kami berharap hasil kemungkinan akan memberikan dasar budaya empiris untuk mengembangkan intervensi spesifik untuk mencegah infeksi HIV di antara anak muda di Iran.

PASIEN dan METODE
Dalam sebuah survei cross-sectional total 350 siswa sekolah tinggi berpartisipasi selama musim semi, 2003.
Sepuluh sekolah tinggi Umum (5 sekolah anak perempuan dan 5 sekolah anak laki-laki) diseleksi dengan metode pengelompokan dari 5 wilayah pendidikan yang berbeda dari Isfahan kota. Untuk menjamin homogenitas sampel, tujuan khusus sekolah tinggi dan swasta tidak disertakan. Penyidik ​​mengunjungi manajer pendidikan, juga kepala sekolah sebelum izin koleksi data. Siswa dipilih melalui metode pengacakan dari Sekolah publik yang disajikan Matematika, Alam (percobaan) dan juga bidang ilmu manusiawi. Secara umum 36 siswa dipilih dari setiap sekolah. Data alat pengumpulan adalah diri diberikan kuesioner.  Item kuesioner 'adalah dikembangkan berdasarkan kajian literatur.
Selama jam sekolah biasa para penanya yang dua perawat anak menghadiri ruang kelas, menjelaskan tujuan dari penelitian ini untuk para siswa dan kemudian meminta mereka untuk mengisi kuesioner secara sukarela dan anonim dan mereka mengembalikan pada jam yang sama.
Kuesioner ini dibagi menjadi empat bagian: karakteristik demografi, pengetahuan, sikap dan keyakinan, dan sumber informasi tentang AIDS / HIV. Item pengetahuan berada di enam wilayah sebagai berikut:
1.      Karakteristik Penyakit (Informasi umum)
2.      Cairan tubuh yang mengandung virus
3.      Cara penularan Tidak langsung
4.      Perilaku Berisiko
5.      Orang ke orang  penularan
6.      Langkah-langkah pencegahan
Pengetahuan HIV / AIDS diukur dengan menggunakan 42 pertanyaan  benar / salah / tidak yakin, dengan benar respon mencetak sebagai "1" dan respon yang salah atau tidak-yakin sebagai "0". Respon yang benar adalah dijumlahkan untuk menghasilkan skor pengetahuan tunggal. Sebuah skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pengetahuan HIV / AIDS, pengetahuan lebih dan kurang mencerminkan ide mitos setiap responden mengenai HIV / AIDS. Untuk mengkategorikan tingkat siswa dari pengetahuan, sistem penilaian dikembangkan sebagai berikut :
<20: sebagai pengetahuan rendah, 20-29: sebagai sedang pengetahuan dan ≥ 30: sebagai pengetahuan yang baik.
Sikap terhadap HIV / AIDS dinilai dengan 25 pertanyaan pada skala 5 tipe titik Likert mulai dari "sangat setuju" (skor 4) untuk "sangat tidak setuju "(skor 0) untuk positif  (benar) sikap dan dari "sangat setuju" (skor 0) untuk "sangat tidak setuju "(skor 4) untuk negatif  sikap (palsu) dan keyakinan. Benar tanggapan sampai 100% dari pertanyaan ditimbang sebagai skor 4.
Untuk mengkategorikan keseluruhan sikap siswa, yang nilai dianggap sebagai berikut: Skor <2: sebagai sikap rendah, skor = 2-2,99: sebagai sikap sedang dan skor ≥ 3: sebagai sikap yang baik. Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data.
Inferensial statistik (t siswa, χ2) Juga diterapkan untuk membandingkan kelompok dan untuk mengevaluasi asosiasi antara pengetahuan dan sikap dan karakteristik demografis siswa melalui paket SPSS. P <0,05 dianggap nilai signifikan.

HASIL
Tingkat respons lengkap adalah 90% dari 350 siswa SMA berpartisipasi dan 10% sisanya dari kuesioner adalah tidak lengkap.
Mengenai informasi umum tentang penyakit sebagian besar siswa tahu bahwa AIDS adalah penyakit yang mengancam kehidupan, disebabkan oleh virus. Sekitar dua sepertiga dari mereka tahu bahwa AIDS adalah semacam gangguan dalam kekebalan tubuh pertahanan dan juga masa inkubasi nya adalah diperpanjang. Dalam wilayah ini tingkat pengetahuan dalam sebagian besar siswa (87,7%) adalah baik (tabel 1).
Mengenai cairan tubuh yang mengandung virus, paling besar responden (> 90%)  laki-laki yang tahu dan sekresi seksual wanita dan darah adalah sumber utama infeksi, namun hanya rendah persentase (20,9%) dari siswa tahu bahwa kelenjar ludah sekresi bisa menjadi salah satu sumber infeksi.
Dalam wilayah ini, tingkat pengetahuan setengah dari siswa yang baik dan tingkat setengah lainnya adalah sedang (tabel 1).
Mengenai model tidak langsung penularan 88,8% siswa mengetahui bahwa AIDS tidak bisa ditularkan oleh objek (misalnya telepon, uang, ...), Namun, ada banyak kesalahpahaman tentang peran gigitan nyamuk dalam penularan virus. Sekitar dua sepertiga dari siswa tahu virus yang dapat juga ditularkan oleh darah menstruasi dan pendarahan dari orang terluka dengan HIV (tabel 1).
Dalam bidang ini, tingkat pengetahuan dalam setengah dari siswa yang baik dan dalam 25,6% dari mereka sedang.
Mengenai perilaku berisiko mayoritas siswa (> 90%) tahu bahwa HIV ditularkan oleh kontak intim dan berbagi pisau, tetapi tidak oleh berjabat tangan dan berbicara dengan orang yang terinfeksi, namun mereka kurang percaya tentang berbagi peralatan dan berpakaian. Dalam wilayah ini, dua sepertiga dari siswa memiliki tingkat yang baik dan 22,3% dari mereka sedang terhadap tingkat pengetahuan (tabel 1).
Mengenai modus penularan dari orang ke orang, sebagian besar (> 90%) dari siswa tahu dari perempuan ke laki-laki dan wakil dibandingkan penularan, namun sekitar sepertiga dari siswa tidak tahu virus yang dapat ditularkan dari perempuan ke perempuan, saat melahirkan dan menyusui.
Dalam setengah wilayah dari siswa memiliki tingkat pengetahuan baik dan sepertiga dari mereka memiliki tingkat sedang (tabel 1).
Dalam wilayah tindakan pencegahan HIV, yang Sebagian besar (> 95%) dari siswa tahu bahwa menggunakan jarum suntik sekali pakai dan memiliki pisau individu dari toko tukang cukur bisa melindungi mereka dari infeksi HIV. Namun ada beberapa kesalahpahaman: 20% dari siswa pikir ada vaksin untuk mencegah penyakit dan sekitar dua pertiga percaya perawatan dini pasien dengan HIV/AIDS bisa mengakibatkan pencegahan penyebaran infeksi.
Tabel  Tingkat pengetahuan dari siswa tentang AIDS

Dalam wilayah ini tingkat pengetahuan setengah dari siswa yang baik dan setengah dari mereka sedang. (Tabel 1).
Umumnya, tingkat total pengetahuan 60,2% dari siswa itu baik, 34,1% cukup dan 5,7% dari subyek memiliki tingkat pengetahuan yang buruk. Total tingkat pengetahuan tidak berbeda nyata antara perempuan dan laki-laki (tabel 1).
Ketika ditanya tentang sikap mereka terhadap orang dengan AIDS (ODHA) (menghadiri sekolah misalnya, mengunjungi rumah mereka, tinggal di rumah mereka ...) 70,6% dari pria dan wanita 57,6% percaya bahwa ODHA harus diisolasi di lembaga-lembaga yang ditunjuk. Setengah dari mahasiswa khawatir bahwa kontak mereka dengan ODHA mungkin menyebabkan penularan infeksi untuk teman-teman dan anggota keluarga. Mayoritas siswa percaya bahwa ODHA pantas mati dan setiap interaksi dengan ODHA akan mengakibatkan infeksi HIV. 
Mayoritas dari mereka juga percaya bahwa hanya laki-laki gay yang mendapat AIDS. Sebagian besar siswa (98,2% perempuan dan 95,2% laki-laki) berpikir bahwa mengukur pencegahan infeksi seharusnya dididik oleh media massa, 83,5% perempuan dan 86,5% laki-laki percaya bahwa semua remaja harus menerima pendidikan seksual.
Sekitar dua pertiga dari siswa tidak percaya bahwa Pengguna obat IV harus diberikan jarum gratis dan sekitar setengah dari mereka tidak percaya bahwa hak-hak ODHA adalah sama seperti pasien lain.
Secara keseluruhan di 68,6% dari siswa (64,5% anak laki-laki dan 73% anak perempuan) bersikap sedang, di 23,3% dari mereka (24,5% anak laki-laki dan 22,5% anak perempuan) bersikap baik dan 8,1% dari siswa (11,3% anak laki-laki dan 4,5% anak perempuan) sikap adalah rendah (Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat sikap terhadap HIV/AIDS
Sikap
Anak Perempuan
Anak Laki-laki
Total
Rendah
Sedang
Baik
Total
8 (4,5)
124 (73)
38 (22,5)
170 (100)
19 (11,3)
110 (64,5)
41 (24,2)
17 (100)
27 (8,1)
234 (68,6)
79 (23,3)
340 (100)
Frekuensi (%)

Skor rata-rata sikap anak perempuan adalah 2,67 ± 0,41 dan di antara anak laki-laki adalah 2,56 ± 0,41 dan ini perbedaan yang signifikan (t = 2,19, p = 0,29). Hasil penelitian menunjukkan bahwa buklet Departemen Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran dan pembacaan sendiri dari jurnal dan buku yang berbeda adalah utama
informasi sumber pada anak perempuan dan utama informasi sumber di anak laki-laki TV, booklet dan sendiri membaca tentang AIDS.
Pada 48,8% anak perempuan dan 24,9% anak laki-laki saudara kandung memiliki tidak ada peran yang efektif untuk memberikan informasi. Sekolah konsultan memiliki peran juga tidak efektif untuk memberikan informasi dalam 45,9% anak perempuan dan 41,2% anak laki-laki. Peran dokter keluarga tidak signifikan dalam pendidikan remaja.
PEMBAHASAN
Penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan penting. Tingkat HIV / AIDS pengetahuan di kalangan mahasiswa adalah sedang. Temuan ini mirip dengan sebelumnya Iran studi (6) dan studi di negara lain (7,8), tetapi ini berbeda dengan studi Ferrer L.et al yang menunjukkan tingkat baik HIV / AIDS pengetahuan di kalangan mahasiswa universitas Chili (9) dan juga studi Ganczak M. dkk yang menunjukkan rendah tingkat HIV / AIDS pengetahuan di antara 75% Arab mahasiswa (10).
Ada banyak kesalahpahaman tentang  penularan HIV, misalnya dengan gigitan nyamuk, peralatan berbagi dan ganti. Masalah ini juga disampaikan oleh peneliti sebelumnya (6,7,11). Dalam penelitian kami sebuah proporsi responden cukup besar (80%) berpikir ada obat untuk AIDS. Ini adalah konsisten dengan penelitian Agrawal et al (11) dan kesalahpahaman adalah salah satu faktor risiko tertular penyakit. Sebanyak 20% dari siswa pikir ada vaksin untuk pencegahan AIDS. Angka ini lebih rendah dari temuan dalam penelitian lain (9,10,12).
Siswa perempuan menunjukkan sedikit lebih tinggi tingkat pengetahuan dibandingkan dengan siswa laki-laki, tetapi perbedaannya tidak signifikan. Ini konsisten dengan penelitian sebelumnya di Iran dan penelitian lain (6) dan ini berlawanan dengan studi Argrawal dkk (11), Singh et al (13) dan Aomereore dkk (14).
Dalam penelitian ini ada sikap negatif terhadap AIDS dan pasien HIV positif.
Mayoritas siswa percaya bahwa ODHA harus terisolasi di lembaga-lembaga yang ditunjuk, ODHA adalah pantas mati dan tidak harus menerima perawatan, hanya pria gay mendapat AIDS. Ada laporan serupa oleh sepertiga dari siswa dalam studi sebelumnya di Iran (6) dan dalam studi Agrawal et al (11) dan Ganczak et al (10). Penelitian ini mengungkapkan signifikan hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap, yang konsisten dengan temuan dalam studi Ross et al (15). Temuan menunjukkan bahwa sumber informasi utama adalah TV, buku kecil pendidikan dan bacaan sendiri dari buku dan majalah, sementara guru, konsultan sekolah, dan anggota keluarga dan profesional kesehatan adalah sumber kurang efektif untuk pendidikan siswa. Hal ini konsisten dengan Westrupp dkk studi (16).
Mayoritas responden mengetahui modus utama penularan HIV. Jadi, sementara pendekatan media massa akan menjadi strategi yang paling mungkin untuk
usaha masa depan pendidikan, program intervensi pendidikan di sekolah yang melibatkan guru dan konsultan sekolah dapat disesuaikan dengan tepat terhadap kebutuhan khusus siswa, sehingga untuk memaksimalkan efektivitas mereka.
Orang tua harus dimasukkan dalam agenda pendidikan kesehatan berencana. Juga dokter harus didorong untuk mempromosikan tingkat pengetahuan keluarga di kantor-kantor swasta dan pusat kesehatan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH
Kami berterima kasih kepada penelitian wakil rektor Isfahan University of Medical Sciences untuk nya dukungan keuangan, dan untuk kepala Pendidikan Organisasi dan kepala sekolah di Isfahan kota, dan juga semua siswa yang berpartisipasi dalam penelitian.

REFERENSI
1.      UNAIDS/WHO. Laporan global HIV / AIDS epidemi. Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia, 1998.
2.      UNICEF. Generasi muda dan HIV / AIDS. Kesempatan dalam krisis. Tersedia di: www. Unicef. Org.
3.      UNESCO. Jakarta: pernyataan konsensus, Asia Perencanaan daerah seminar tentang AIDS dan pendidikan dalam sistem sekolah 1994.
4.      Iranian CDC. Laporan pusat kesehatan di Isfahan Provinsi. 2004.
5.      Gender dan AIDS Almanac. Tersedia di: www.Unaids.org/en/Region-countries/countries/Iran- Islam-Republik-of.asp.
6.      Tavoosi A, Zaferani A, Enzevaei A, Tajik P, Ahmadinezhad Z. pengetahuan dan sikap terhadap HIV / AIDS di kalangan mahasiswa Iran. BMC publik Kesehatan 2004; 4:17.
7.      Yoo H, Lee SH, Kwon BE, S Chung, Kim S. HIV / AIDS pengetahuan, sikap, perilaku terkait, dan sumber-sumber informasi di kalangan remaja Korea. J Sch Kesehatan 2005; 75:393-99.
8.      Nemato T. surveilans HIV / AIDS dan pencegahan Studi di Jepang: ringkasan dan rekomendasi. AIDS Educ Prev 2004; 16:27 - 42.
9.      Ferrer L, Cianelli R, Guzman E, Cabieses B, Irarrázabal L, Bernales M, dkk. Chili universitas siswa: pengetahuan dan kepedulian tentang HIV / AIDS. J Assoc Perawat Peduli AIDS 2007; 18:51-56.
10.  Ganzak M, Barss P, Alfaresi F, Almazrouei S, Muraddad A, Al-Maskari F. Break di kesunyian: HIV / AIDS Pengetahuan, sikap, dan kebutuhan pendidikan kalangan mahasiswa Arab di United Arab Emirates. J Adolesc Kesehatan 2007; 40:572.
11.  Agrawal HK, Rao RS, Chandrashekar S, Coulter JB. Pengetahuan dan Sikap terhadap HIV / AIDS dari senior sekunder sekolah siswa dan guru peserta pelatihan di Udupr Distrik, Karnataka, India. Ann Trop Pediatr 1999; 19:143-49.
12.  Hossain MB, Kabir A, Ferdous H. Pengetahuan tentang HIV dan AIDS di antara Siswa Tersier di Bangladesh. Int Q Kesehatan Masyarakat Educ 2007; 26:271-85.
13.  Singh U, potter lapangan D, Thilakavathi S. Pengetahuan penularan HIV dan perilaku seksual dari perguruan tinggi siswa di pune, India. AIDS 1997; 11:1519-33.
14.  Aomreor AA, Alikor EA, Nkanginieme EK. Penelitian pengetahuan tentang HIV di antara siswa sekolah menengah 3 di Port Harcourt. Niger J Med 2004; 13:398-404.
15.  Ross MW. Distribusi pengetahuan tentang AIDS: a nasional penelitian. Soc Sci Med 1988; 27:1295-98.
16.  Westrupp MH, Boell Pimentel CP, Berger Salema Coelho E, Caetano JC, de Souza AN. Pendidikan kesehatan pengetahuan dan sumber informasi mengenai diperoleh immunodeficiency atau AIDS Wahyu Lat Am Enfermagem 1996; 4:61-71.