Masalah Tuberkulosis di Indonesia kian hari terus bertambah seiring dan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berisiko menderita penyakit TB oleh karena banyak faktor, diantaranya adalah lingkungan tempat tinggal (padat penduduk) sehingga sirkulasi udara yang kurang bagus, pencahayaan yang kurang, banyaknya yang tidak terdeteksi menderita TB berkeliaran menyebarkan bakteri TB sehingga menambah daftar penderita TB setiap harinya. serta faktor lainnya yang mempengaruhi bertambahnya jumlah penderita TB di Indonesia.
Sedikit bercerita tentang kenyataan yang saya temukan dilapangan saat penelitian.
Selama 2 bulan saya melakukan penelitian dari rumah ke rumah menemui responden untuk wawancara secara langsung mengenai TB, namun yang saya ingin ceritakan adalah kondisi fisik lingkungan penderita TB.
Setelah turun langsung dilapangan, ternyata saya bisa katakan bahwa penderita TB rata-rata tinggal di daerah yang padat penduduk dan kondisi lingkungan yang kumuh. Setelah saya masuk dari rumah ke rumah terlihat bahwa setiap rumah kurang mendapatkan pencahayaan (bahkan sangat tertutup) dan kebanyakan saya temukan rumah mereka sempit, dipenuhi barang-barang dan tertutup sehingga saat melakukan wawancara rasanya sulit bernafas karena tidak adanya ventilasi. Selain itu rata-rata tidak ada pencahayaan sehingga saat memasuki rumah responden rasanya sangat gelap yang menyebabkan bakteri sangat berpotensi untuk berkembang biak di daerah yang lembab dan tidak mati karena tidak kena cahaya.
Masalah ekonomi juga berpengaruh dalam masalah TB ini, sebab rata-rata yang saya temukan saat melakukan penelitian adalah responden berprofesi sebagai buruh bangunan, tukang becak, tukang ojek, buruh harian. meskipun banyak juga yang berprofesi sebagai karyawan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian keluarga penderita mempengaruhi intake gizi yang baik untuk keluarga sehingga mudah terkena penyakit, jika gizinya baik dan lingkungan tempat tinggal layak, maka kemungkinan kecil bisa terkena penyakit seperti TB, sebab penyakit ini juga dipengaruhi oleh gizi seseorang.
Hal lain yang menarik yang saya dapatkan saat penelitian adalah bahwa rata-rata responden tidak ingin diketahui oleh orang lain bahwa dirinya ternyata menderita TB dan ketika saya mencoba bertanya kepada tetangganya hanya sekedar ingin tahu apakah benar tetangga tidak mengetahui perihal sakit TB yang diderita oleh responden, ternyata rata-rata tetangga hanya tahu bahwa responden sakit dan demam kebanyakan tidak mengetahui secara pasti sakit apa yang dideritanya. Hal ini berarti bahwa penderita merasa malu ketika orang lain tahu bahwa dirinya menderita TB.
Saat mewawancarai penderita TB, ada beberapa responden yang ternyata ketahuan berhenti mengkonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa DOTS adalah digunakan pada penderita TB untuk menyembuhkan penderita dari sakit TB yang dideritanya jika dikonsumsi sesuai aturan secara rutin, tidak terputus sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Namun yang terjadi adalah banyak yang berhenti mengkonsumsi OAT dengan berbagai alasan, diantaranya adalah mereka takut karena pada saat BAB keluar darah "katanya" padahal itu adalah reaksi dari mengkonsumsi obat bukan darah, kemudian mereka merasa jenuh mengkonsumsi obat, yang harusnya adalah peran dari PMO (Pengawas Minum Obat) untuk memperhatikan responden agar mengkonsumsi obat sesuai dengan aturan. Selain itu ada pula yang merasa sudah sembuh sehingga berhenti mengkonsumsi OAT. huft....rasanya sedih juga, karena ketika mereka berhenti mengkonsumsi obat pada kondisi mereka terdiagnosa TB Paru, nantinya harus mengulang kembali.
Sejak tadi saya bercerita namun saya lupa mengatakan bahwa saya sedang membahas tentang TB paru, sebab TB juga terbagi-bagi sehingga anda mungkin bingung saya sedang membahas TB apa..he..he..Maaf..
Okey. kita lanjut kembali yach..
Seyogyanya orang yang sakit butuh orang yang bisa memberikan semangat agar cepat sembuh, butuh bantuan materi, motivasi dan perhatian. Namun, ada beberapa responden yang saya dapati saat berobat ke Puskesmas dan saat saya berkunjung langsung ke rumahnya, merasa bahwa dirinya sehat dan tidak perlu perhatian dan semangat dari orang lain termasuk keluarganya, kemudian saya mencoba menggali jawaban responden tersebut, mengapa bisa menghadapi sakitnya seorang diri, ternyata si responden hidup sendiri dan anak-anaknya sibuk bekerja dan si reponden tidak ingin merepotkan anaknya, jawaban dari responden yang lain adalah karena tinggal terpisah dari keluarganya untuk kuliah (tinggal di kost) bahkan temannya sendiri (satu kost dengan responden) tidak tahu bahwa dirinya menderita TB sehingga tidak dapat perhatian khusus dari temannya.
Diakhir tulisan saya ini, saya ingin katakan bahwa kenyataan yang ada, masalah Tuberkulosis sulit diselesaikan karena bersifat komplex sehingga harus diselesaikan satu persatu secara bersamaan, misalnya saja tentang konsumsi OAT harus benar-benar diperhatikan oleh PMO nya sehingga jangan sampai terjadi kasus berulang yang tentunya selain bisa berpotensi MDR juga akan bersifat aktif menyebarkan TB ke masyarakat sebagai pembawa penyakit. Selain masalah konsumsi obat teratur juga perbaikan kondisi tempat tinggal seperti pencahayaan, ventilasi, agar kuman bisa mati. perbaikan ekonomi untuk perbaikan gizi penderita, melibatkan orang terdekat bukan hanya keluarga untuk memberikan perhatian, semangat, materi kepada penderita. dan sebagainya yang tidak sempat saya uraikan satu persatu.
Terima kasih anda sudah membaca tulisan saya, dan semoga anda bisa mengerti maksud tulisan saya dan jika sekiranya anda ingin bertanya atau mengomentari tulisan ini, saya persilahkan... TRIMS
Sedikit bercerita tentang kenyataan yang saya temukan dilapangan saat penelitian.
Selama 2 bulan saya melakukan penelitian dari rumah ke rumah menemui responden untuk wawancara secara langsung mengenai TB, namun yang saya ingin ceritakan adalah kondisi fisik lingkungan penderita TB.
Setelah turun langsung dilapangan, ternyata saya bisa katakan bahwa penderita TB rata-rata tinggal di daerah yang padat penduduk dan kondisi lingkungan yang kumuh. Setelah saya masuk dari rumah ke rumah terlihat bahwa setiap rumah kurang mendapatkan pencahayaan (bahkan sangat tertutup) dan kebanyakan saya temukan rumah mereka sempit, dipenuhi barang-barang dan tertutup sehingga saat melakukan wawancara rasanya sulit bernafas karena tidak adanya ventilasi. Selain itu rata-rata tidak ada pencahayaan sehingga saat memasuki rumah responden rasanya sangat gelap yang menyebabkan bakteri sangat berpotensi untuk berkembang biak di daerah yang lembab dan tidak mati karena tidak kena cahaya.
Masalah ekonomi juga berpengaruh dalam masalah TB ini, sebab rata-rata yang saya temukan saat melakukan penelitian adalah responden berprofesi sebagai buruh bangunan, tukang becak, tukang ojek, buruh harian. meskipun banyak juga yang berprofesi sebagai karyawan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian keluarga penderita mempengaruhi intake gizi yang baik untuk keluarga sehingga mudah terkena penyakit, jika gizinya baik dan lingkungan tempat tinggal layak, maka kemungkinan kecil bisa terkena penyakit seperti TB, sebab penyakit ini juga dipengaruhi oleh gizi seseorang.
Hal lain yang menarik yang saya dapatkan saat penelitian adalah bahwa rata-rata responden tidak ingin diketahui oleh orang lain bahwa dirinya ternyata menderita TB dan ketika saya mencoba bertanya kepada tetangganya hanya sekedar ingin tahu apakah benar tetangga tidak mengetahui perihal sakit TB yang diderita oleh responden, ternyata rata-rata tetangga hanya tahu bahwa responden sakit dan demam kebanyakan tidak mengetahui secara pasti sakit apa yang dideritanya. Hal ini berarti bahwa penderita merasa malu ketika orang lain tahu bahwa dirinya menderita TB.
Saat mewawancarai penderita TB, ada beberapa responden yang ternyata ketahuan berhenti mengkonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa DOTS adalah digunakan pada penderita TB untuk menyembuhkan penderita dari sakit TB yang dideritanya jika dikonsumsi sesuai aturan secara rutin, tidak terputus sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Namun yang terjadi adalah banyak yang berhenti mengkonsumsi OAT dengan berbagai alasan, diantaranya adalah mereka takut karena pada saat BAB keluar darah "katanya" padahal itu adalah reaksi dari mengkonsumsi obat bukan darah, kemudian mereka merasa jenuh mengkonsumsi obat, yang harusnya adalah peran dari PMO (Pengawas Minum Obat) untuk memperhatikan responden agar mengkonsumsi obat sesuai dengan aturan. Selain itu ada pula yang merasa sudah sembuh sehingga berhenti mengkonsumsi OAT. huft....rasanya sedih juga, karena ketika mereka berhenti mengkonsumsi obat pada kondisi mereka terdiagnosa TB Paru, nantinya harus mengulang kembali.
Sejak tadi saya bercerita namun saya lupa mengatakan bahwa saya sedang membahas tentang TB paru, sebab TB juga terbagi-bagi sehingga anda mungkin bingung saya sedang membahas TB apa..he..he..Maaf..
Okey. kita lanjut kembali yach..
Seyogyanya orang yang sakit butuh orang yang bisa memberikan semangat agar cepat sembuh, butuh bantuan materi, motivasi dan perhatian. Namun, ada beberapa responden yang saya dapati saat berobat ke Puskesmas dan saat saya berkunjung langsung ke rumahnya, merasa bahwa dirinya sehat dan tidak perlu perhatian dan semangat dari orang lain termasuk keluarganya, kemudian saya mencoba menggali jawaban responden tersebut, mengapa bisa menghadapi sakitnya seorang diri, ternyata si responden hidup sendiri dan anak-anaknya sibuk bekerja dan si reponden tidak ingin merepotkan anaknya, jawaban dari responden yang lain adalah karena tinggal terpisah dari keluarganya untuk kuliah (tinggal di kost) bahkan temannya sendiri (satu kost dengan responden) tidak tahu bahwa dirinya menderita TB sehingga tidak dapat perhatian khusus dari temannya.
Diakhir tulisan saya ini, saya ingin katakan bahwa kenyataan yang ada, masalah Tuberkulosis sulit diselesaikan karena bersifat komplex sehingga harus diselesaikan satu persatu secara bersamaan, misalnya saja tentang konsumsi OAT harus benar-benar diperhatikan oleh PMO nya sehingga jangan sampai terjadi kasus berulang yang tentunya selain bisa berpotensi MDR juga akan bersifat aktif menyebarkan TB ke masyarakat sebagai pembawa penyakit. Selain masalah konsumsi obat teratur juga perbaikan kondisi tempat tinggal seperti pencahayaan, ventilasi, agar kuman bisa mati. perbaikan ekonomi untuk perbaikan gizi penderita, melibatkan orang terdekat bukan hanya keluarga untuk memberikan perhatian, semangat, materi kepada penderita. dan sebagainya yang tidak sempat saya uraikan satu persatu.
Terima kasih anda sudah membaca tulisan saya, dan semoga anda bisa mengerti maksud tulisan saya dan jika sekiranya anda ingin bertanya atau mengomentari tulisan ini, saya persilahkan... TRIMS